“Mengajak pada kebaikan itu harus
dengan baik”. Itu kalimat yang lima menit lalu terbersit dikepala saya. Hanya
di kepala, tak sempat terucap atau ter-update sebagai tweet pagi atau status
facebook. Saya bukan orang baik, atau orang yang selalu mengajak pada kebaikan
karena bahkan saya tidak tahu apakah segala sesuatu yang saya lakukan merupakan
sebuah kebaikan atau bahkan keburukan. Sekali lagi, kalimat itu hanya
benar-benar terbersit di kepala saya.
Sepuluh menit kemudian, saya
berpikir keras apa yang harus saya lakukan dengan kalimat itu? Apakah membiarkannya
hanya datang dan terbuang begitu saja atau harus saya tulis besar-besar dan di
pajang di tembok kamar? Ah! Rasanya itu semua terlalu berlebihan. Saya hanya
ingin kalimat itu tidak sia-sia di kepala saya. Paling tidak, sebaris kalimat
itu tidak hanya sekedar terbersit atau tertulis di ingatan, tetapi alangkah
baiknya jika kalimat itu bermakna.
Dua puluh menit kemudian saya masih
berpikir tentang makna kalimat tersebut, hingga akhirnya di menit ke dua-puluh
lima saya mencoba memaknai-nya dengan pemahaman saya yang sederhana. Bahwa
sesunguhnya ketika kita merasa ada sesuatu yang baik yang ingin kita bagi
dengan orang lain, kita harus menyampaikan-nya dengan cara yang baik pula.
Bukan dengan memaksa, memerintah tak sopan apalagi menyalahkan. Contoh kecil
adalah ketika kita ingin mengajak teman untuk membiasakan diri membuang sampah
pada tempatnya, janganlah kita menegur dengan memarahi dia ketika kita menjumpainya
masih buang sampah sembarangan lalu menyuruhnya mebuang sampah di tong sampah.
Bukan dia akan menyadari bahwa dia salah dengan membuang sampah sembarangan,
yang ada malah dia sepanjang hari boleh jadi akan menggerutu tentang teguran
kita dan akhirnya malah membenci kita yang punya niat baik tetapi menggunakan
cara yang salah. Sesederhana itulah pemahan yang saya dapat dari bermenit-menit
mencoba berpikir keras memaknai sebaris kalimat yang muncul di pikiran sembari
saya mengepel lantai tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar